Lumbung Pangan: Kearifan Lokal Pemulihan Bencana

Cipp Lumbung PanganFPsi UIN Maliki MalangCenter for Indigenous Psychology and Peace (CIPP) Fakultas Psikologi UIN Maliki Malang, Gusdurian Muda Malang dan Sekretaris Nasional Gusdurian menunjukkan aksi empati pada korban erupsi Gunung Kelud dalam bentuk melakukan distribusi bahan pokok berupa beras sejumlah 1.000 Kg ke desa terdampak erupsi Kelud di Dusun Kutut, Pandansari, Ngantang, Kabupaten Malang. Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Psikologi yang juga anggota Gusdurian, Mohammad Mahpur memandu perjalanan menuju lokasi (12/4) disertai dosen, pegawai, dan beberapa mahasiswa. Perjalanan tersebut menempuh waktu sekitar dua setengah jam dari kota Malang menuju lokasi dusun terdampak Kelud yang melintasi tempat wisata bendungan Selorejo Ngantang. Bantuan ini didasari oleh analisis kebutuhan singkat sebelumnya yang dilakukan oleh Mohammad Mahpur, Yusuf Ratu Agung dan Anwar Fuady.

Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka kepedulian ini dalam rangka mendukung pemenuhan cadangan makanan penduduk selama masa pemulihan karena masa ini disebut sebagai masa kritis. Lahan tidak bisa ditanami karena gundukan pasir erupsi yang mengeras menghambat pengolahan lahan pertanian, siklus masa tanam yang tidak tepat sehingga perlu masa penantian dan peternakan yang masih masa perawatan kembali sehingga penduduk berada dalam situasi menunggu. Situasi normal diprediksi berkisar enam bulan ke depan. Mengantisipasi masa krisis tersebut muncullah inisiatif lokal yang diprakarsai oleh Kepala Dusun Kutut, Lamidi untuk membuat Lumbung Pangan. Oleh karena itu, beras 1 ton ini ditujukan untuk menopang keberlangsungan pengelolaan Lumbung Pangan hingga enam bulan ke depan sehingga kebutuhan pangan tercukupi.

Lamidi juga menegaskan, Lumbung Pangan ini bagian dari menejemen pendistribusian bantuan. Dia mengatakan, kalau distribusi bantuan dilakukan seketika, masyarakat akan cenderung konsumtif dan menimbulkan prahara konflik berebut bantuan. Padahal, enam bulan ke depan, penduduk masih membutuhkan suku cadang pangan untuk bertahan menuju pemulihan total sampai datang musim tanam yang tepat. Melalui Lumbung Pangan, distribusi bantuan ke masyarakat dapat direncanakan dengan baik dan didistribusikan berdasarkan kebutuhan riil pangan penduduk yang betul-betul membutuhkan. “Lumbung ini merupakan tanda kekayaan desa. Aksi mengumpulkan suku cadang pangan selama dua bulan namun kita dapat menggunakan untuk persediaan makan penduduk selama enam bulan karena baru setelah masa itulah kami bisa bercocok tanam”, ujar Kasun yang juga pernah menjadi relawan Merapi.

Dalam perbincangannya dengan Lamidi, Mohammad Mahpur menjelaskan, “bantuan beras 1 ton adalah hasil penggalangan dana yang dilakukan Sekretariat Nasional Gusdurian sesaat setelah erupsi Kelud yang dikumpulkan dari masyarakat umum sebagai aksi mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan yang mana nilai-nilai tersebut merupakan spirit yang digali dari laku perjuangan Gus Dur. “Karena dana yang terkumpul masih cukup, laporan saya ke Seknas Gusdurian dari hasil kunjungan beberapa waktu lalu untuk melihat kebutuhan masyarakat setempat ditanggapi positif oleh Seknas Gusdurian. Bantuan satu ton ini adalah mandat dari Gusdurian,” tutur Mohammad Mahpur.

Saat ditanya mengenai respon masyarakat terhadap program Lumbung Pangan, Lamidi menjelaskan, “awalnya warga menolak karena mereka takut bahan pangan tersebut akan dikorupsi oleh pihak-pihak pengurus, termasuk saya ini”. Menyikapi hal itu, Lamidi berusaha memotivasi warganya dengan mengambil spirit menejemen pangan yang pernah dilakukan Nabi Yusuf AS. Dia berujar, untuk bertahan hidup, Nabi Yusuf mengambil inisiatif agar saat melimpah persediaan makan selama tujuh tahun masa makmur, umat diajarkan agar mampu berhemat, tidak konsumtif atau produktif menyimpan persediaan makan untuk tujuh tahun mendatang yang diprediksikan akan mengalami masa krisis. Bercermin dari situ, Lamidi menyakini bahwa Lumbung Pangan ini adalah seperti strategi Nabi Yusuf, namun kalau di sini, usahanya hanya dilakukan dua bulan yang nantinya dapat dijadikan sebagai cadangan makanan selama enam bulan. Lumbung Pangan adalah cara agar masyarakat di sini mampu bertahan selama enam bulan dan menghindari perilaku konsumtif.

Keputusan membuat Lumbung Pangan tidak mulus diterima warga. Sebenarnya warga lebih memilih agar bantuan pangan langsung dibagikan kepada warga. Lamidi tidak berpikir demikian. Jikalau bantuan makan itu langsung dibagikan, warga cenderung akan menjualnya jika mereka merasa memiliki pangan yang lebih. “Jadi, mending dibuat lumbung saja,” kata laki-laki paruh baya tersebut. Ada kearifan lokal yang bertransformasi didalam menejemen pengelolaan bantuan. Lumbung yang dulu digunakan masyarakat desa untuk menyimpan padi paska panen yang hari ini sudah punah, sekarang dimunculkan kembali sebagai pilihan cerdas dalam menejemen pangan untuk menampung cadangan pangan paska bencana di desa.

Kearifan lokal seperti ini menjadi kekuatan dan bukti bahwa masyarakat memiliki caranya sendiri untuk bertahan hidup. Sebelum lumbung pangan itu terwujud, bantuan sembako dibagikan secara langsung kepada warga. Menurut pemaparan Lamidi, pola pikir dan perilaku setiap warga berbeda-beda dalam menerima bantuan. Ada catatan penting yang dia sampaikan, ternyata orang kaya itu lebih ganas dari orang miskin saat menerima bantuan. Menurutnya karena orang kaya sudah terbiasa hidup enak sehingga kebutuhannya jauh lebih konsumtif. Selain itu seringkali mengkritik ketika bantuan berasnya berkualitas kurang baik. Dengan berbagai pertimbangan sikap dan perilaku yang berbeda-beda ini, “jika bantuan yang diberikan sedikit, sebaiknya dikumpulkan dulu. Ketika sudah terkumpul banyak maka bantuan itu dapat dibagi sesuai kebutuhan”, ujarnya.

Lamidi sebagai Kepala Dusun yang merepresentasikan local genius komunitas. Kearifan Lamidi juga dapat dijelaskan dari ketrampilan lain dalam menejemen bencana. Dia sosok yang dibutuhkan hadir sebagai penyangga keseimbangan masyarakat di tengah krisis sikap hidup dan upaya bertahan hidup (resiliensi) menuju kehidupan yang lebih baik paska bencana. Suatu contoh untuk menghindari konflik relawan paska erupsi di dusunnya, dia menerapkan pendekatan kreatif. Kebetulan ada dua kelompok relawan muslim. Guna menghindari perbedaan kepentingan di antara keduanya, Lamidi telah melakukan keputusan penting, yakni tidak memusatkan kedua kelompok muslim ini bertempat di satu masjid. Lamidi meredistribusi, khusus untuk kelompok pemuda dia distribusikan di mushola menjaga sembako. Sedangkan para kelompok relawan muslim orang tua, beliau tempatkan di masjid. Mereka tidak digabung karena takut cekcok”, jelas tokoh masyarakat yang juga pengagum Gus Dur.

Lamidi kemudian bercerita jika ia pun seorang yang mengagumi sosok Gus Dur. Dia menegaskan bahwa keteladan Gus Dur mengenai hidup rukun bermasyarakat menjadi tolak ukur penting dalam menghadapi berbagai perbedaan yang ada. Ini juga menjadi kunci Lamidi menghadapi keragaman dalam memimpin Dusun Kutut, apalagi setelah bencana Kelud. Seperti semboyan Gus Dur “gitu aja kok repot” ia dimaknai sebagai acuan agar tidak mudah membesar-besarkan suatu masalah kecil. Menurutnya, Gus Dur telah menyatukan Indonesia karena tidak pernah membeda-bedakan rakyatnya.

Ketika diminta kesan mengenai kedatangan rombongan baik dari Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan Gusdurian, Lamidi merasa senang dan mengucapkan terima kasih. Dia berharap agar rombongan ini tetap berempati dan membantu korban di desa tersebut. “Saya mengucapkan terimakasih dan semoga bisa mengikuti jejak Gus Dur dalam hal kemanusiaan. Harapan saya agar bantuan ini jangan putus sampai hari ini saja karena kami masih membutuhkan bantuan dari semuanya.” Akhirnya, Mahpur dan rombongan berpamitan kepada Lamidi dan keluarga untuk kembali ke Malang sekitar pukul 18.00 WIB. (Red. mm)

Reportase: Sofia Musyarrafah & M. Syaiful Haq

Baca Juga :

ubduh berita button