Sekitar 1 dari 9 orang Indonesia ialah orang miskin. Ketika 8 sisanya mengubah mentalitas mereka, saya tidak bisa bayangkan keajaiban apa yang akan datang untuk mengubah hidupnya.
-Wahyu Riska Elsa Pratiwi-
PsychoNews – Sejarah peradaban manusia menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan suatu fenomena yang acapkali sukar dihadapi dan selalu ada di dalam suatu kelompok masyarakat. Indonesia sendiri sempat mengalami fluktuasi rasio penduduk yang tergolong miskin. Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mencatat pada tahun 2004, ada sekitar 36,10 juta warga miskin di Indonesia. Jumlah ini mengalami penurunan pada tahun 2005 yang berjumlah 35,10 juta. Tetapi, pada tahun 2006, Indonesia mengalami lonjakan penduduk miskin yang tinggi sekitar 39,10 juta. Kemiskinan yang melonjak diakibatkan kebijakan pemerintah baru yang belum terealisasikan sepenuhnya. Tetapi, pada tahun 2008, Indonesia berhasil mengurangi angka kemiskinan hanya muncul diangka 34,9 juta penduduk miskin. Sementara itu pada tahun 2009 angka kemiskinan di Indonesia kembali turun sekitar 32,38 juta penduduk (Markum, 2009).
Sayangnya sejak tahun 2010 penurunan kemiskinan justru melambat, hanya menurun sekitar 1 juta penduduk miskin per tahun. Berikut diagram jumlah penduduk miskin sejak tahun 2010 hingga 2013. Sementara itu data persentase penduduk miskin sejak tahun ini tercatat sebagai berikut, tahun 2010 sebesar 13,33 %, menurun pada tahun 2011 menjadi 12,49%, pada tahun berikutnya menjadi 11,96% dan tahun 2013 sebesar 11,47%.
Umumnya pemerintah dan masyarakat kita memandang kemiskinan sebagai gejala ekonomi, padahal kemiskinan juga termasuk dalam gejala sosial, dimana tinjauannya menitikberatkan pada cara hidup masyarakat, tingkah laku dan cara berpikir masyarakat.
Dalam Penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Sosial dari Departemen Sosial Republik Indonesia (1985) dijelaskan bahwa pola hidup kemiskinan yang diturunkan dari generasi ke generasi akan membentuk sikap dan perilaku masyarakat yang kemudian membentuk nilai-nilai khas yang erat kaitannya dengan masalah kemiskinan dan usaha masyarakat untuk melakukan adaptasi pada situasi yang tengah dialaminya. Nilai-nilai itu diyakini sebagai kondisi sosial psikologis keluarga.
Pertama, aspirasi keluarga. Nilai khas ini menggambarkan tingkat aspirasi masyarakat miskin yang rendah sehingga ia lebih cepat puas dengan apa yang sudah ia dapatkan. Mereka cenderung berpikir tentang keadaan sekarang dan mengabaikan keadaan yang akan datang dengan dalih keadaan ekonomi yang tidak mendukung, Aspirasi dimaknai sebagai, keinginan kuat untuk dapat dirasakan dan diwujudkan dalam upaya memenuhi kebutuhan atau kepuasan, dalam hal ini munculnya harapan diri, keluarga, dan masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik di masa mendatang, atau terbebas dari jerat kemiskinan.
Persoalannya, alih-alih terlibat aktif dalam pemberdayaan berupa pelatihan keterampilan atau pemberian modal dan pendampingan usaha yang pemerintah berikan pada keluarga miskin, mereka justru bertahan pada pemikiran jangka pendek dan merasa cukup hanya dengan menerima bantuan dana dari pemerintah yang mampu membiayai kehidupan sehari-hari khsuusnya kebutuhan makan keluarga sehari-hari atau biaya pendidikan anak yang diharapkan mampu bersekolah tinggi dan mengubah masa depan keluarga. Maka tak heran kalau (Markum, 2009) dalam penelitiannya menegaskan bahwa, kemiskinan harusnya dipandang tidak dengan kacamata ekonomi saja dalam artian karena keterbatasan modal dan rendahnya keterampilan orang miskin, melainkan butuh kacamata sosial yang berkenan dengan pengembangan aspirasi dan mentalitas orang miskin Indonesia yang secara umum masih tidak memiliki keinginan untuk lepas dari jerat kemiskinan dengan kemampuan mereka sendiri.
Kedua, Interaksi dan perubahan sosial. Nilai khas ini dimaknai sebagai hubungan-hubungan sosial dinamis, yang terjalin antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan antara kelompok dengan kelompok (Soekanto, 1983). Terjadinya interkasi sosial tidak bisa dilepaskan dari komunikasi dan kontak sosial yang individu lakukan dengan lingkungan sosialnya. Aktif terlibat dalam akivitas pengajian, kegiatan organisasi, mendengarkan ceramah, pengajian, dan sosialisasi, kesemuanya ini merupakan contoh dari interaksi sosial.
Kesadaran untuk berpartisipasi aktif dalam organisasi sosial dinilai penting untuk meningkatkan kecakapan sosial para keluarga miskin khususnya kepala keluarga dalam memimpin dirinya sendiri dan keluarganya juga dapat memberikan kesempatan untuk bisa mengembangkan jejaring dan kerja sama dengan keluarga dari kalangan menengah ke atas. Hal ini cukup bisa dilakukan di daerah pedesaan mengingat masyarakat pedesaan masih tergolong kuat kerukunan antar tetangganya. Selain itu, aktif sebagai peserta dalam kegiatan sosialiasasi terkait pengembangan ekonomi kreatif atau masalah usaha kecil mikro menengah atau inovasi pertanian dan peternakan yang kerap dilakukan pemerintah untuk masyarakat pedesaan. Sebagaimana pemberian pelatihan dan sosialiasi masalah pertanian yang dikemas sebagai program-program pemerintah.
“bidang pertanian seperti bimbingan masai (BOMAS), intensifikasi masai (INMAS) dan intensifikasi khusus (INSUS) mendapat tanggapan yang positif dari petani miskin di pedesaan, sebagian besar (71,3 %) petani miskin menyatakan program-program tersebut berguna bagi mereka. Namun demikian pembangunan dalam bidang pertanian dengan menggunakan alat/cara -cara baru belum banyak digunakan oleh petani miskin. Sekitar 63% petani miskin dalam usaha meningkatkan taraf hidup keluarganya masih menggunakan cara/alat-alat tradisional seperti cangkul, parang, bajak dan pupuk kandang. Sedangkan yang menggunakan alat dan cara-cara baru hanya kurang dari 10 %, dan yang lainnya menggunakan kedua cara yaitu cara tradisional dan baru.” (Badan Penelitian dan Pengembang Sosial, 1985, p.38)
Nah, bila sudah aktif mengikuti kegiatan-kegiatan diatas maka masyarakat kita hanya membutuhkan langkah terakhir, yakni praktek nyata dan support dari lingkungan untuk bisa mengembangkan keterampilan yang mereka bisa kuasai dan kembangkan sebagai bentuk pengembangan usaha mereka.
Ketiga, sistem nilai. Nilai khas ini terbentuk dari proses yang cukup panjang yang telah dialami oleh masyarakat yang tergolong miskin. Dalam penelitian yang berjudul Aspek-Aspek Kemiskinan di Beberapa Daerah di Indonesia yang dirangkum oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Sosial (1985) didapati sikap, kebiasaan hidup serta pandangan hidup masyarakat merupakan unsur-unsur nilai yang mempengaruhi masalah kemiskinan. Kebiasaan hidup keluarga dalam melakukan praktek kebersihan masihlah buruk. Sebagai contoh, keluarga miskin khususnya yang tinggal di pedesaan banyak yang masih menggunakan air sungai untuk mandi, cuci, kakus padahal sungai tersebut sudah tercemar. Selain itu sanitasi di rumah keluarga miskin belum memenuhi prasyarat untuk mendukung kesehatan dan kebersihan lingkungan rumah. Akhirnya, keluarga yang tergolong miskin sering tersrang penyakit. Saat sakit mereka justru tidak ingin mengunjungi pusat pelayanan kesehatan mereka lebih memilih beristirahat di rumah dan tidak membeli obat agar uang mereka bisa disimpan untuk kebutuhan lainnya alhasil ketika semakin parah uang yang dikeluarkan justru semakin banyak.
Sementara itu dari segi pandangan hidup didapatkan hasil yang menggembirakan bahwa, tumbuh kesadaran di kalangan keluarga miskin tentang arti pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai jalan penyelamat mereka dari himpitan ekonomi yang secara turun-temurun mereka hadapi. Sayangnya, di daerah pedesaan yang mayoritas masyarakatnya ialah petani hal ini menjadi alasan kenapa anak-anak petani enggan bercita-cita menjadi petani. Orang tua mereka menyadari bahwa dengan lahan yang sangat terbatas tidak akan memberikan kesempatan hidup yang lebih baik, dan mereka tidak dapat memberikan warisan kepada keturunan mereka selain kesusahan hidup oleh karenanya anak mereka disekolahkan hingga perguruan tinggi dan mengambil jurusan yang tidak berkaitan dengan pertanian.
Mereka-masyarakat yang tergolong miskin-mungkin memberikan pengertian yang sederhana tentang kehidupan, yakni hidup adalah untuk bekerja. Dimana bekerja untuk mencari nafkah demi keluarga dan cara terbaik untuk menyelamatkan hidup anak-anak mereka agar tidak bernasib sama adalah dengan jalur pendidikan yang baik dan berhasil dalam belajar. Adalah seruan untuk seluruh aktivis sosial, Lembaga Swadaya Masyarakat, atau pemangku jabatan khususnya pemerintah di tingkat kecamatan, kelurahan, pedesaan hingga daerah perkotaan dan tak lupa kita selaku sarjana psikologi untuk mendampingi para keluarga yang dikategorikan miskin untuk melakukan perubahan demi kualitas hidup yang lebih baik, karena sejatinya mereka memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan internal pada diri mereka dari segi pengembangan aspirasi hidup, peningkatan interaksi sosial menuju perubahan sosial, juga perbaikan sikap, kebiasaan dan pandangan hidup yang bisa diarahkan menjadi motivasi untuk meningkatkan kesejahteraan diri mereka di masa mendatang. Dimulai dari mengedukasi mentalitas mereka sehingga nilai-nilai khas ini bisa berkembang secara positif dalam masyarakat kita. Red.Ms
Penulis : Yansa Alif Mulya
Editor : Wahyu Riska Elsa Pratiwi
[button href=”http://psikologi.uin-malang.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/Kemiskinan-Adalah-Gejala-Sosial-dan-Bukan-Gejala-Ekonomi-Semata.pdf” rounded=”” size=”btn-mini” style=”blue” target=”_blank”]Simpan[/button]