Pentingnya Proses Recovery bagi Korban Bencana dan Konflik

International Symposium 2014PsychoNews – Fakultas Psikologi tak henti-hentinya membuat agenda internasional. Kali ini Fakultas ini mengadakan International Symposium and Workshop yang bertemakan “Improving Community Resilience and Mental Health After Conflict and Disaster” (13/6). Simposium ini menghadirkan beberapa narasumber dari luar negeri, salah satunya adalah Prof. Rosnah Ismail, Ph. D yang berasal dari Universiti Malaysia Perlis, Malaysia. Pemaparan beliau sangatlah menarik, yakni tentang memperkuat kebangkitan keluarga dan kelompok yang terkena bencana dan konflik. Menurut beliau, bencana pada dasarnya bersifat tidak terduga dan terjadi secara besar-besaran. “Disaster such as tsunamis, earthquakes, landslides, flood, transportation accidents, wildfires are typically unexpected, sudden, and overwhelming,” katanya. Setiap individu yang terkena bencana atau konflik seharusnya memiliki sikap dan reaksi yang tepat sehingga dapat mengontrol emosinya dalam menghadapi hal tersebut.

Menurut narasumber ini, reaksi atau respon yang diberikan oleh korban ketika terkena bencana sangat beragam. Di antaranya adalah para korban mungkin merasa cemas, gugup, dan sangat sedih. Tak jarang pula, pola makan dan tidur mereka berubah akibat kecemasan yang dialaminya. Selain itu, korban biasanya menjadi lebih sensitif terhadap stimulus di lingkungan sekitar. Mereka akan mudah kaget dan cemas jika mendengar bunyi yang keras dan muncul ketakutan bahwa bencana tersebut akan terulang kembali. Akibat fisik yang dialami korban juga bisa berupa sakit kepala, mual, dan sakit dada. Oleh karena itu, perhatian medis juga harus diberikan kepada mereka. Sedangkan bagi individu yang mengalami konflik, respon perilaku yang nampak adalah menjauh, mengisolasi, dan melepaskan diri dari aktivitas sosial yang biasa dilakukan.

Bagi korban yang terkena bencana adalah wajar jika mereka mengalami stres sebagai dampak dari bencana tersebut. Namun, sebagian besar korban dapat melakukan kembali aktivitasnya sehari-hari dan bangkit dari kesedihannya. Menurut Prof. Rosnah, proses bangkit dan penyembuhan harus dilakukan, bukan malah bersedih terus-menerus.

Pengalaman traumatik menyebabkan tubuh, pikiran, semangat, dan hubungan interpersonal menjadi ‘terluka’. Terapi-terapi harus segera dilakukan dengan berfokus pada patologi dan mencegah gejala-gejala gangguan stres pascatrauma (Posttraumatic Stress Disorder/PTSD). PTSD adalah reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis. Gangguan ini dapat menghalangi korban dalam melakukan kegiatannya sehari-hari akibat dari kecemasannya tesebut.

Banyak solusi untuk para korban bencana yang ditawarkan Prof. Rosnah dalam pemaparannya, salah satunya di bidang Psikologi, para konselor biasanya menyebutnya dengan Psychological First Aid dan dukungan emosi. Intervensi ini dapat dilakukan dengan mendengarkan cerita korban dengan penuh empati dan menenangkan hati mereka. Intinya adalah membangun kembali kesehatan mental para korban.

Sedangkan dalam intervensi konflik, Prof. Rosnah memberikan pula solusinya, salah satunya adalah terapi keluarga. Terapi ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas komunikasi, mencegah terjadinya isolasi, mengurangi rasa kesia-siaan, dan meningkatkan pemberdayaan. Selain itu, hal penting yang perlu dilakukan adalah kesadaran lintas budaya. Individu atau kelompok yang mengalami konflik harus memiliki kesadaran dan kemampuan untuk membangun dan memantapkan kembali struktur sosialnya; dan memola hubungan komunikasi secara mendalam. Akhirnya menurut Prof. Rosnah, orang yang dapat belajar secara terbuka tanpa terpaku dengan perspektif budayanya akan dapat lebih mudah dalam pekerjaaannya. (Red.Qr)

Reportase: Sofia Musyarrafah

Baca Juga:

ubduh berita button