Setiap kali Idulfitri tiba, umat Islam di Indonesia tak hanya merayakan kemenangan setelah sebulan berpuasa, tetapi juga melanjutkannya dengan tradisi unik yang hanya ada di negeri ini, yaitu halal bihalal. Tradisi ini menjadi momen penting untuk berkumpul, saling memaafkan, dan mempererat hubungan sosial, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, maupun institusi.
Secara etimologi, istilah “halal bihalal” memang berasal dari kata Arab, namun penggunaannya dalam konteks budaya adalah khas Indonesia. Meski tidak ditemukan dalam literatur Islam klasik, istilah ini mencerminkan nilai-nilai luhur dalam ajaran Islam, yakni saling memaafkan dan memperbaiki hubungan antarmanusia.
Tradisi ini mulai dikenal luas sejak masa Presiden Soekarno. Menurut sejarah, Bung Karno ingin meredam ketegangan politik dan sosial pasca Idulfitri, dan meminta KH Wahab Chasbullah untuk mencarikan solusi. Maka muncullah istilah “halal bihalal”, yang kemudian dijadikan ajang silaturahmi nasional antar elit politik dan masyarakat luas.
Halal bihalal biasanya dilaksanakan setelah salat Idulfitri atau di hari-hari setelahnya. Kegiatan ini bisa berlangsung di rumah, di kantor, di sekolah, hingga di tingkat pemerintahan. Bentuknya beragam, mulai dari sekadar berkumpul sambil bersalam-salaman, hingga acara formal dengan sambutan, tausiyah, dan jamuan makan bersama.
Esensi utama dari halal bihalal adalah saling memaafkan. Di momen ini, orang-orang akan saling mengulurkan tangan sambil mengucapkan “mohon maaf lahir dan batin”. Ungkapan tersebut bukan sekadar basa-basi, tetapi bentuk kerendahan hati untuk mengakui kekhilafan dan membuka hati untuk memaafkan.
Lebih dari sekadar ritual tahunan, halal bihalal juga memiliki fungsi sosial yang kuat. Ia menjadi jembatan untuk menyambung kembali tali silaturahmi yang mungkin sempat renggang karena kesibukan atau kesalahpahaman. Melalui momen ini, suasana yang awalnya canggung atau penuh gengsi bisa mencair menjadi kehangatan.
Dalam lingkungan kerja, halal bihalal mampu membangun kembali semangat kebersamaan dan kolaborasi. Biasanya, pimpinan dan karyawan berkumpul dalam satu ruangan, saling berjabat tangan, dan menyampaikan ucapan selamat Idulfitri. Ini menjadi momentum penting untuk membangun tim yang lebih solid pasca libur panjang.
Di tingkat masyarakat, halal bihalal menciptakan suasana guyub dan harmonis. Warga satu RT atau satu desa berkumpul, saling menyapa dan bertukar cerita. Tak jarang, halal bihalal juga diisi dengan hiburan rakyat atau santunan untuk anak yatim, menambah nilai kebersamaan dan kepedulian sosial.
Tradisi ini juga memiliki makna spiritual yang mendalam. Islam mengajarkan bahwa silaturahmi adalah amalan yang memperpanjang umur dan membuka pintu rezeki. Maka dari itu, halal bihalal bukan hanya soal adat, tapi juga bagian dari ibadah yang bernilai pahala besar jika dilakukan dengan niat yang tulus.
Halal bihalal adalah contoh nyata bagaimana nilai-nilai keislaman dan kearifan lokal bisa berpadu dalam satu tradisi yang penuh makna. Di tengah arus globalisasi dan individualisme, menjaga dan melestarikan tradisi ini menjadi sangat penting. Sebab di sanalah kita diajak untuk kembali menjadi manusia yang rendah hati, penuh kasih, dan saling menghargai.
Fahmi