Oleh : Zuhairina Shabrina Zakiyah
Fenomena katarsis online menjadi semakin menarik di era digital ini, dimana inetraksi manusia seringkali terjadi dalam ranah virtual. Banyak kasus yang menunjukkan bagaimana seseorang melampiaskan emosi mereka ke media sosial Misal, baru-baru ini banyak kasus yang menjadi viral karena seseorang membagikan cerita sedih, senang, duka mereka ke media sosial. Paling banyak bersumber dari twitter dan story, baik story Instagram atau story instragram. Hal tersebut membuat pembaca ikut merasakan emosi mereka dan tidak sedikit yang tergiring opini karena katarsis yang dibagikan. Jelas bahwa fenomena ini menjadi bahan diskusi publik karena berbagai perbedaan pendapat, juga agar kita menjadi lebih bijak terhadap apa yang diungkapkan seseorang.
Katarsis online merujuk pada fenomena di mana individu menggunakan media digital untuk melepaskan emosi negatif atau tekanan. Ini dapat terjadi melalui berbagai cara, termasuk menulis di blog, berbagi pengalaman di media sosial, atau berpartisipasi dalam forum online. Dalam lingkungan online, katarsis sering kali terjadi tanpa ada risiko sosial yang terkait dengan ekspresi emosi secara langsung. Dalam konteks ini, individu merasa lebih nyaman untuk mengungkapkan perasaan mereka secara anonim atau melalui platform yang memberi mereka jarak dari respons langsung. Hal ini memberikan ruang bagi orang-orang untuk berbagi pengalaman mereka tanpa takut akan stigma atau penilaian sosial yang mungkin mereka hadapi dalam interaksi langsung. Dengan demikian, katarsis online tidak hanya menjadi alat untuk melepaskan tekanan, tetapi juga memungkinkan individu untuk menjaga keseimbangan antara ekspresi diri dan perasaan keamanan psikologis dalam lingkungan digital.
Faktor dan Dampak Katarsis
Berbagai faktor dapat mendorong individu untuk mencari katarsis online. Misalnya, rasa anonimitas di internet dapat membuat seseorang merasa lebih nyaman untuk berbagi pengalaman pribadi atau emosi yang sulit diungkapkan secara langsung. Dalam lingkungan virtual, individu dapat merasa lebih bebas untuk mengekspresikan diri tanpa takut akan stigma atau penilaian sosial yang mungkin terjadi dalam interaksi langsung. Anonimitas ini memberi mereka kebebasan untuk berbicara tanpa rasa khawatir akan konsekuensi langsung dari ekspresi emosi mereka. Selain itu, rasa dukungan dan penerimaan dari komunitas online juga dapat menjadi faktor penting yang mendorong individu untuk mencari katarsis. Interaksi dengan orang-orang yang memiliki pengalaman atau perasaan yang serupa dapat memberikan rasa pengertian dan solidaritas, yang membuat individu merasa didukung dalam menghadapi tantangan atau kesulitan yang mereka alami. Dengan demikian, faktor-faktor ini menciptakan lingkungan online yang mendukung bagi individu untuk mengekspresikan diri dan mencari katarsis secara lebih bebas dan terbuka.
Meskipun sering kali dianggap negatif, katarsis online juga memiliki potensi positif. Misalnya, berbagi pengalaman sulit dapat membantu individu merasa didengar dan dipahami oleh komunitas online, meningkatkan rasa koneksi dan dukungan. Dalam beberapa kasus, katarsis online bahkan dapat menjadi langkah awal menuju pemulihan dan pertumbuhan pribadi.
Dengan berbagi pengalaman mereka secara online, individu dapat menemukan dukungan dari orang-orang yang memiliki pengalaman atau perasaan yang serupa, memperkuat rasa saling pengertian dan solidaritas di dalam komunitas. Hal ini menunjukkan bahwa katarsis online tidak selalu memiliki konsekuensi negatif; dalam beberapa situasi, itu dapat menjadi alat untuk memulai perjalanan menuju pemulihan dan pertumbuhan pribadi, serta memperkuat koneksi sosial dalam lingkungan digital.
Penting untuk memahami dampak kognitif dari katarsis online pada individu dan masyarakat. Meskipun katarsis online dapat memberikan lega sesaat, penggunaan yang berlebihan atau tidak sehat dari platform digital juga dapat meningkatkan risiko depresi dan kecemasan. Oleh karena itu, penting untuk membatasi konsumsi konten negatif dan mempromosikan interaksi online yang sehat dan mendukung. Dalam konteks ini, kesadaran akan pengaruh kognitif dari katarsis online menjadi krusial dalam membentuk kebiasaan online yang positif. Dengan memahami bagaimana ekspresi emosi secara daring dapat memengaruhi kesejahteraan mental individu, kita dapat mengambil langkah- langkah proaktif untuk menjaga keseimbangan yang sehat antara interaksi online dan kesehatan pikiran. Ini tidak hanya bermanfaat bagi individu secara pribadi, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan, dengan meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan potensi positif dari interaksi online. Pemahaman yang mendalam tentang implikasi kognitif dari katarsis online memainkan peran krusial dalam membentuk kebiasaan online yang sehat dan positif, sehingga menjaga kesejahteraan mental individu dan masyarakat secara keseluruhan.
Peran Media Platform
Literasi media memainkan peran penting dalam membantu individu mengelola katarsis online dengan bijaksana. Dengan pemahaman yang kuat tentang bagaimana media digital memengaruhi pikiran dan emosi, individu dapat lebih sadar tentang dampak dari perilaku online mereka. Apa yang dikemukakan lewat media sosial tidak mencerminkan kenyataan sesungguhnya. Realitas semu itu juga sangat tergantung siapa pemilik jendela-jendela itu, dan apa kepentingan orang melihat lewat jendela yang satu dan tidak lewat jendela yang lain. Apalagi jika orang yang melihat jendela tersebut menceritakan pada orang lain. Artinya, media sosial tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai uuh seseorang. Ada banyak rekayasa-rekayasa tertentu yang bisa dilakukan untuk mencapai tujuan. Media sosial tetap sebuah media yang mengkonstruksi realitas yang tidak sepenuhnya terungkap. (Nurudin, 2015) Dengan kesadaran yang lebih besar tentang cara media digital memengaruhi pikiran dan emosi, individu dapat lebih bijaksana dalam memilih konten yang dikonsumsi, menyeimbangkan interaksi online dengan kebutuhan kesehatan mental, dan memanfaatkan platform online sebagai sumber katarsis yang positif.
Tanggung jawab platform media sosial juga harus diperhitungkan dalam konteks katarsis online. Meskipun platform tersebut menyediakan ruang untuk ekspresi diri, mereka juga memiliki tanggung jawab untuk mencegah penyebaran konten yang merugikan atau menyesatkan. Lau dalam Haris (2016) mendefinisikan era digital sebagai era dimana informasi dapat dengan mudah diakses dan dipertukarkan secara elektronik melalui perangkat digital. Tanggung jawab sosial itu sendiri merujuk pada tindakan dan rasa tanggung jawab, tidak hanya pada diri kita sendiri, tapi juga kaitannya dengan orang lain (Yuliani, 2016). Dengan menerapkan kebijakan yang lebih ketat terhadap konten yang merugikan, platform media sosial dapat membantu menciptakan lingkungan online yang lebih aman dan mendukung. Dalam menjaga integritas lingkungan daring, platform- platform tersebut perlu mengambil langkah-langkah proaktif untuk memitigasi dampak negatif dan mempromosikan interaksi yang lebih positif di antara penggunanya.
Secara keseluruhan, pemahaman tentang fenomena katarsis online membuka pintu untuk memperdalam kognisi sosial dalam interaksi virtual. Dengan menyelidiki faktor-faktor yang mendorong katarsis online, dampak kognitifnya, dan peran literasi media serta tanggung jawab platform media sosial, kita dapat lebih baik memahami dinamika kompleks dari kehidupan online. Melalui penelusuran yang teliti terhadap berbagai aspek katarsis online, kita dapat menggali lebih dalam tentang bagaimana interaksi virtual memengaruhi pikiran, emosi, dan perilaku kita. Dengan demikian, penting untuk terus mengeksplorasi dan memahami peran katarsis online dalam membentuk kognisi sosial kita, sambil memperhatikan dampak positif dan negatif yang terkait dengannya. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang fenomena ini, kita dapat mengambil langkah-langkah yang lebih efektif dalam mempromosikan interaksi online yang sehat dan mendukung, serta mengelola risiko yang mungkin timbul.
Nurudin. (2015). Media Sosial sebagai Katarsis Mahasiswa. Jurnal Komunikator, 7(2), 93–102.
Yuliani, M. F. (2016). HOAX DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PENGGUNA SOSIAL MEDIA. 6, 1–23.