PsychoNews – Tidak banyak yang diketahui khalayak ramai mengenai penyakit down syndrome. Seperti yang kita tahu, bahwa pasien penderita ini dianggap tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari, sukar membangun hubungan sosial atau bahkan tidak mampu bersekolah. Pada dasarnya, down syndrome merupakan kelainan genetik kromosom, yaitu kromosom 21 yaitu mengalami kegagalan dalam membelah atau bisa dibilang tidak sempurna saat pembelahan. Akibat dari pembelahan yang tidak sempurna, kita bisa melihat adanya kemiripan dari para penderita down syndrome. Beberapa persamaan bentuk fisik dari para penderita adalah pertumbuhan dan perkembangan yang kurang, kelainan kepala dan wajah, telinga, rongga mulut, bentuk tangan dan kaki, jantung, mata, pendengaran, dan sistem reproduksi, serta tubuh yang pendek (short stature). Down syndrome bukan disebabkan karena faktor keturunan, tetapi memang ada kelainan genetik, yakni kesalahan dalam pembelahan kromosom dan sampai sekarang masih belum diketahui sebabnya. Salah satunya diyakini karena usia sang ibu lebih dari 35 tahun ketika mengandung. Baru-baru ini 21/03/2017 dunia memperingati Hari Down Syndrome. Pemilihan tanggal 21/3 ini bukan tanpa alasan. Tanggal tersebut dirasa tepat untuk ntilmbangkan Trisomi-21, yakni kelainan pada kromosom 21 yang dimiliki anak-anak dengan Down Syndrome.
Dalam beberapa jurnal disebutkan bahwa penyebab down syndrome diakibatkan adanya kurangnya yodium saat proses perkembangan janin, adanya faktor genetik, dan akibat usia orang tua terlalu tua atau terlalu dini. Rata-rata penderita down syndrome memiliki IQ di bawah 70 seringkali mengalami gangguan perilaku adaptif. Dimana, mereka kesulitan beradaptasi dengan tuntutan kehidupan sehari-hari sesuai rentang usia mereka. Atau mengalami kesulitan dalam mengembangkan kemampuan membina hubungan sosial dan menyelesaikan permasalahan kehidupan sehari-hari (seperti menggunakan transportasi umum, menggunakan uang untuk berbelanja, dsb). Inilah tantangan bagi penderita down syndrome karena harus beradaptasi dengan lingkungan masyarakat dimana ia hidup. Walaupun begitu, terdapat individu dengan down syndrome yang mampu mengembangkan kelebihan yang dimiliki.
Pada penderita down syndrome yang rata-rata memiliki IQ 70, mereka mampu melakukan sesuatu secara mandiri, yakni dapat melakukan keterampilan tanpa selalu diawasi. Seperti keterampilan mengurus diri sendiri, toilet training, aktivitas sehari-hari seperti makan, mandi, berpakaian. Di luar akademik, mereka mampu mengembangkan keterampilan di bidang musik seperti bermain piano, juga keterampilan kinestetik seperti, berenang dan atletik.
Sayangnya, dari segi pendidikan, jumlah Sekolah Luar Biasa (SLB) di Indonesia kurang dari 1% (jumlah SLB hanya 1.312 sekolah dari 170.891 sekolah biasa). Selain itu, penyelenggaraan pendidikan inklusif, praktiknya cenderung dipaksakan. Banyak sekolah inklusif tanpa guru khusus pendamping anak berkebutuhan khusus, belum lagi masalah kurikulum yang masih belum optimal (Irwanto, 2006). Dalam segi pekerjaan, menurut ILO dari 24 juta orang penyandang disabilitas baru sekitar 11 juta orang yang tercatat memiliki pekerjaan (2010). Dalam undang-undang No. 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat dan undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan mengenai kewajiban tiap perusahaan untuk menyerap 1% pekerja disabilitas.
Di Indonesia, sudah banyak penderita down syndrome yang memiliki prestasi menumpuk. Contohnya, Stephanie Handoyo yang memiliki prestasi di bidang atletik. Perempuan asal Surabaya ini merupakan siswi dari sekolah penyandang khusus di Jakarta. Stephanie juga tergabung dalam Organisasi Special Olympics Indonesia (SOINA). Pada tahun 2011, Stephanie berhasil meraih medali emas cabang olahraga renang di ajang Special Olympic World Summer Games di Athena, Yunani, untuk 50 meter gaya dada. Di Australia, pada tahun 2014, Stephanie berhasil merebut medali perak untuk nomor 100 meter gaya dada, sementara di ajang berikutnya di Los Angeles, Stephanie memperoleh medali perak untuk kategori gaya dada 50 meter dan gaya bebas 100 meter. Lalu, ada juga Samuel Santoso, seorang anak berkebutuhan khusus yang berhasil menyabet penghargaan dari MURI sebagai pelukis penyandang down syndrome pertama yang berhasil menggelar 50 karya lukisan dalam pameran lukisannya.
Terakhir, dari segi aspek kepribadian stereotype dari anak down syndrome adalah bersahabat, suka bergaul, dan terbuka. Hal itu terjadi karena mereka bisa bersosialisasi dengan lingkungan secara baik meskipun keterbelakangan mental membatasi keterampilan sosialnya. Seperti halnya perilaku dan emosi yang juga bervariasi sengat luas. Seorang pasien down syndrome dapat lemah dan tidak aktif, sedangkan juga bisa agresif dan hiperaktif. Oleh Karena itu, kita harus mampu membangun lingkungan kondusif agar ia nyaman dan percaya diri dalam berinteraksi dengan siapapun disekitarnya.
Ingat, Down Syndrome bukankah penyakit, namun sebuah kondisi kelainan pada kromosom. Menang benar bahwa mereka mengalami proses perkembangan kognitif yang cenderung lambat. Juga keterbatasan fisik yang tidak seperti individu lainnya. Tapi, kondisi ini bukanlah halangan bagi mereka untuk berprestasi dan meraih kesuksesan. Seperti yang terjadi pada anak-anak yang terlahir dengan mengidap down syndrome sebagaimana dijelaskan diatas. Oleh karenanya, sangat dibutuhkan peran besar orangtua dan lingkungan sekitar untuk mendidik, mendampingi dan mengarahkannya pada kegiatan positif hingga sang anak bisa menjadi yang lebih mandiri bahkan menginspirasi orang banyak dengan hal yang ia geluti. (Red. Ms)
Penulis : Yansa Alif Mulya
Editor : Wahyu Riska Elsa P
[button href=”http://psikologi.uin-malang.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/Rata-rata-Penderita-Down-Syndrome-Miliki-IQ-70.pdf” rounded=”” size=”btn-mini” style=”red” target=”_blank”]Simpan[/button]