Andhab Ashor Dalam Kerukunan Masyarakat Jawa

Indonesia merupakan suatu negara yang terdiri dari berbagai pulau dan berbentuk negara kesatuan. Masing-masing daerah memiliki budaya dan tradisi yang sudah ada sejak dahulu. Keanekaragaman budaya dan tradisi yang ada menghasilkan tata cara dalam hidup bermasyarakat salah satunya adalah sikap saling menghormati antar manusia. Sikap ini sering diartikan dengan istilah budaya andhap asor. Menurut Santoso (2016) Andhap asor merupakan suatu sikap ngajeni atau hormat dan ditunjukkan pada orang lain yang lebih tua atau berada pada tingkatan yang lebih tinggi dari dirinya. Budaya andhap asor digambarkan dengan perilaku yang rendah hati, sopan, santun, saling menghormati dan menghargai, tidak sombong, dan perilaku yang sesuai dengan norma pada masyarakat. Perilaku andhap asor dapat diterapkan pada seluruh tatanan masyarakat. Terlebih ketika di Jawa, perilaku ini sangat ditekankan dan diterapkan dari kecil karena sesuai dengan dua prinsip yang dipegang teguh oleh orang orang Jawa sendiri yaitu prinsip rukun dan hormat. Namun pada kenyataan di lapangan, sikap andhap asor mulai terkikis. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya generasi milenial yang bersikap kurang sopan pada orang yang lebih tua seperti berkata kasar, membentak, bahkan membantah. Jika dikaji berdasarkan sudut pandang budaya andhap asor perilaku tersebut dipandang saling berlawanan dengan prinsip yang ada.

Budaya andhap asor merupakan suatu hal yang cukup penting untuk diulas lebih lanjut mengingat bahwa ini menyangkut sopan santun yang ditunjukkan individu pada orang lain. Seseorang yang mulai kehilangan sikap andhap asornya, maka akan kehilangan kekuatan untuk mempertahankan atau meningkatkan hubungan interpersonalnya (Putrihapsari & Dimyati, 2021, p. 2061). Ini menunjukkan bahwa peran andhap asor dalam kehidupan sosial bermasyarakat dinilai memiliki andil. Sebaliknya orang yang selalu menerapkan andhap asor akan membuat orang lain menjadi senang karena merasa dihormati dan dianggap ‘tinggi’ (Putrihapsari & Dimyati, 2021, p. 2063-2064). Pada artikel ini, kami mengangkat isu andhap asor dalam lingkup masyarakat dan kaitannya dengan keilmuan psikologi.

  1. Pengertian Andhap Ashor

Andhap asor merupakan sebuah sikap sopan santun dan rendah hati (KBBI Edisi V). Kata sopan santun merujuk pada sebuah sikap dengan budi pekerti yang baik, penuh tata krama, peradaban, dan kesusilaan. Lebih lanjut, Suseno (1999) mengatakan bahwa andhap asor merupakan sebuah kesediaan hati seseorang untuk menganggap dirinya lebih rendah daripada orang lain. Sopan santun atau unggah ungguh dalam bahasa Jawa terdiri atas dua hal, yaitu sikap berbahasa seseorang serta bentuk nyata sebagai wujud dari tuturannya, atau bisa disebut patrap dan pangucap (Suwadji, 1985 & Dwiraharjo, 1999). Pendidikan sopan santun ini sangat perlu untuk diajarkan kepada anak sejak ia masih kecil. Dalam proses pengaplikasiannya, tidak ada ketetapan yang tetap tentang apakah seseorang bersikap sopan santun atau tidak karena sopan santun memiliki ukuran yang berbeda-beda (Fitriyah, 2019). Sebagai contoh, perilaku bersendawa dengan keras bisa disebut tidak sopan pada suatu tempat namun bisa dianggap biasa saja pada tempat lain

  • Gambaran Andhap Ashor di Jawa

Andhap asor diidentikkan dengan sikap dan perilaku hormat. Pendidikan untuk menghormati dalam masyarakat Jawa diajarkan pada anak melalui tiga sikap pembiasaan yaitu wedi, isin, dan sungkan (Suseno, 1999). Wedi berarti takut, sebagai salah satu aspek yang ditujukan agar anak menghormati orang yang harusnya dihormati. Isin berarti malu, dimana aspek ini dikembangkan pada anak agar mereka berperan dalam kehidupan sosialnya dengan secara tidak berlebihan. Dalam masyarakat Jawa terdapat kritik “Ora nduwe isin” yang artinya tidak tahu malu. Kritik tersebut merupakan sebuah kritikan tajam yang berkembang untuk mendidik anak agar merasa malu. Semakin beranjak dewasa, maka anak akan mengenal aspek sungkan, dimana sungkan merupakan bentuk lain dari isin yang lebih positif disertai dengan rasa hormat yang sopan terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal. Ketiga aspek ini merupakan satu kesatuan yang berkesinambungan untuk membentuk sikap hormat.

Geertz (1961) mengatakan bahwa dalam kaidah kehidupan masyarakat Jawa, terdapat dua hal yang dijadikan sebagai prinsip dalam bersikap dan berperilaku yang menunjukkan sikap andhap asor. Kaidah pertama yaitu seseorang hendaknya bersikap dan berperilaku yang tidak menimbulkan konflik. Selanjutnya, kaidah kedua yaitu hendaknya seseorang menunjukkan sikap hormatnya dalam berbicara dan menempatkan diri sesuai dengan derajat dan kedudukannya.

Prinsip Kerukunan

Prinsip kerukunan memiliki tujuan utama untuk menjaga keselarasan dan keharmonisan dalam masyarakat. Rukun diartikan sebagai sebuah keadaan ideal yang baik dalam hubungan sosial serta hubungan dengan individu lain. Rukun digambarkan sebagai keadaan damai, menerima satu sama lain, tenang dan sepakat. Hubungan individu dikatakan sebagai hubungan yang rukun ketika hubungan tersebut selaras dan tidak terdapat keresahan, konflik, serta perselisihan.

Dalam budaya Jawa, pada dasarnya kerukunan merupakan suatu hal yang telah ada dan tersedia dalam masyarakat. Keselarasan dalam masyarakat merupakan keadaan normal layaknya air laut yang diam tanpa angin. Jika dalam suatu masyarakat tidak terdapat kerukunan, maka masyarakat tersebut telah menciptkan keadaan tertentu yang menyebabkan kerukunan hilang, seperti berkonflik, berselisih, dan menyebabkan keresahan.

Sharma (2015) menyebutkan bahwa dalam upaya untuk menciptakan kerukuan, individu dapat melakukan beberapa hal, diantaranya yaitu :

1)   Mengembangkan empati

2)   Membangun sosial grup sebagai pertemanan

3)   Memberikan penguatan satu sama lain

4)   Mengakuisisi sekutu

5)   Menjembatani kesenjangan

b.   Prinsip Hormat

Prinsip kedua yang menjadi tolak ukur perilaku andhap asor yaitu prinsip hormat. Prinsip hormat menunjukkan bahwa seseorang harus bersikap dan berperilaku dengan hormat sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Suseno (1984) mengatakan bahwa tujuan dari ditanamkannya prinsip ini adalah untuk menciptakan kehidupan yang teratur dan tatanan sosial yang baik . Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa perilaku menghormati dilakukan oleh seseorang yang berusia lebih muda atau berkedudukan lebih rendah pada mereka yang lebih tua atau berkedudukan lebih tinggi. Sebaliknya, seseorang yang merasa lebih tua atau tinggi juga harus menunjukkan sikap kasih sayangnya dan tanggung jawab untuk ngopeni (merawat).

Geertz (1983) mengatakan bahwa pendidikan prinsip hormat dalam keluarga Jawa dipelajari melalui tiga sikap, yaitu wedi (takut), isin (malu), dan sungkan. Wedi berarti takut, sebagai salah satu aspek yang ditujukan agar anak menghormati orang yang harusnya dihormati. Isin berarti malu, dimana aspek ini dikembangkan pada anak agar mereka berperan dalam kehidupan sosialnya dengan secara tidak berlebihan. Serta sungkan merupakan bentuk lain dari isin yang lebih positif disertai dengan rasa hormat yang sopan terhadap seseorang yang lebih tua atau sesama yang belum dikenal. Pembiasaan sikap-sikap ini mulai ditanamkan kepada anak sejak dini di lingkungan terkecil dalam kehidupannya, yaitu lingkungan keluarga.

  • Andhap Ashor termasuk Nilai Sosial atau Norma Sosial?

Andhap asor adalah salah satu etika dalam budaya Jawa yang sampai saat ini masih diterapkan. Lalu, andhap asor ini termasuk ke dalam nilai atau norma sosial? Nilai memiliki definisi sebagai suatu gagasan yang muncul dari pengalaman dengan pertimbangan yang mengarahkan pada perilaku tertentu, namun tidak menghakimi benar atau salah (Horton & Hunt, 2004). Nilai sosial lahir dari kebutuhan masyarakat untuk memberikan batasan atas beragam kemauan dari individu masing-masing, sehingga dianut oleh masyarakat mengenai anggapan baik dan buruknya suatu perilaku. Nilai sosial ini tumbuh bersama seiring berjalannya interaksi yang terjadi di masyarakat. Sedangkan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), norma adalah ketentuan yang digunakan untuk mengatur tatanan serta tingkah laku yang sesuai dan dapat diterima dalam lingkungan. Norma terbagi menjadi beberapa macam, salah satunya adalah norma sosial. Norma sosial sendiri diartikan sebagai tatanan yang diharapkan mampu dipatuhi dan dijalankan oleh masyarakat dalam entitas sosial tertentu. Biasanya, norma sosial ini tidak tertulis namun dapat dipahami dan dimengerti sehingga ada sanksi sosial jika norma tersebut dilanggar. Norma dapat dikatakan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding nilai sosial, karena norma sosial merupakan hasil dari interaksi yang dilakukan dan telah dipercaya oleh masyarakat setempat.

Andhap asor sendiri dapat dikategorikan sebagai norma sosial dan berada pada tingkatan tata kelakuan (mores). Andhap asor adalah salah satu perilaku baik yang seharusnya dipertahankan oleh leluhur dari jaman dahulu kala. Perilaku andhap asor yang dinilai sebagai sesuatu yang membawa kebermanfaatan dan dinilai baik oleh manusia, tentu saja dapat memberikan fungsi yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Jawa yang kurang menjunjung etika andhap asor ini akan mendapat sanksi seperti melalui verbal atau bahkan hingga dikucilkan. Dengan alasan yang sangat kuat bahwa seseorang yang rendah hati maka akan disegani oleh orang lain yang ada di sekitarnya. Hal demikian dapat dikatakan sebagai hukum alam yang mendarah daging dengan norma-norma masyarakat. Tetapi, sanksi-sanksi bagi seseorang yang tidak memiliki tata kelakuan andhap asor ini juga sangat dinamis, bergantung dengan perkembangan zaman yang kemudian dapat memberikan toleransi atau “pemakluman” bagi kelompok tertentu yang sedikit demi sedikit telah meninggalkan etika andhap asor. Inilah yang dikhawatirkan masyarakat Jawa, dibuktikan dengan perkataan yang menunjukkan kerisauan yaitu wong Jawa ilang Jawa-ne.

  • Pentingnya Perilaku Andhap Ashor

Masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi tata laku andhap asor dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Karena dinilai sangat penting bagi keberlangsungan interaksi sosial, andhap asor diajarkan secara turun-temurun oleh masing-masing keluarga. Perilaku andhap asor juga memiliki andil dilihat dari sudut pandang Psikologi Sosial. Andhap asor yang diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai perilaku rendah hati ini sangat mempengaruhi adanya perilaku altruisme yang ditinjau secara psikologis. Seseorang yang memiliki jiwa rendah hati yang tinggi tentunya akan sangat ringan memberikan pertolongan kepada orang lain tanpa memikirkan manfaat apa yang akan diperoleh orang yang andhap asor tersebut. Dari sisi positif, hal demikian membawa kebaikan pada lingkungan dan kepada diri sendiri. Perilaku altruisme salah satu bentuk spesifik perilaku prososial (Batson & Powel, 2003), yang merupakan tindakan menolong orang lain secara sukarela untuk memberikan manfaat bagi orang lain yang didorong dari motivasi instrinsik (dalam diri), sehingga tidak mengharapkan imbalan apapun dari orang yang diberi pertolongan (Eisenberg & Mussen, 1989).

Perilaku andhap asor ini menjadi begitu penting untuk dipertahankan karena ternyata kini telah tergerus oleh perkembangan zaman yang menjadi zaman modern. Kurangnya interaksi sosial secara langsung memunculkan permasalahan serta kesulitan penyesuaian diri dan penerapan perilaku andhap asor sendiri. Para kawula muda yang asik bermain gadget tanpa mempedulikan sekitarnya menjauhkan dari etika saling menghargai dan berkurangnya rasa altruisme karena andhap asor yang tidak ditanamkan sedari dini. Penanaman perilaku andhap asor penting untuk mulai diterapkan dalam lingkungan sekolah, sebagai salah satu penerapan akhlak atau moral. Jika memang diperlukan, andhap asor dapat dimasukkan dalam salah satu kriteria penilaian etika siswa-siswi di sekolah.  

Penulis :

Farahdiba Qn, Mauliawati R, Roro Aurelia

Daftar Pustaka

Geertz, H. (1961). The Javanese family: A study of kinship and socialization.

Ibadurrahman, M. (2019). Transformasi Budaya Andhap Asor dalam Meminimalisir Perilaku Anomali di Madura. Jurnal Pendidikan Seni, Bahasa dan Budaya, 2 (1). h. 1-8

Magnis, F. & Suseno. (1984). Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia

Putrihapsari, R. & Dimyati. (2021). Penanaman Sikap Sopan Santun dalam Budaya Jawa pada Anak Usia Dini. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5 (2). h. 2059 – 2070

Rahman, E., Roslinda, & Kartikawati. (2015). Norma Sosial Masyarakat Desa Nusapati dalam Pengelolaan Hutan Rakyat. Jurnal Hutan Lestari, Vol. 4, No. 2, h. 244-249

Sabariyanto, D., Suwadji, S., Riyadi, S., Laginem, L., & Sudira, S. (1985). Geografi Dialek Bahasa Jawa Kabupaten Jepara. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Santoso, D. (2016). The Realisation of Andhap Asor ‘Modest’ and Ngajeni ‘respect’ in the Meeting of Yogyakarta’s Provincial Parliament. International Journal on Studies in English Language and Literature (IJSELL), 4 (9). h. 58-64

Shadiqi, M. A. (2018). Perilaku Prososial. Dalam A. Pitaloka, Z. Abidin, & M. N. Milla (Eds.), Buku psikologi sosial, pengantar teori dan penelitian (227-260). Jakarta: Salemba Humanika

http://digilib.uinsby.ac.id/1289/5/Bab%202.pdf

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *